content bg

LIGA INDONESIA, ''SUPER atau PRIMER'' ?

Liga Super Indonesia (LSI) adalah liga reguler
kasta tertinggi di Indonesia, dimana semua klub
pesertanya adalah klub profesional. Semua
klub profesional ini adalah badan hukum
berbentuk Perseroan Terbatas, jadi semua klub
peserta LSI adalah sebuah “business entity”.
LSI, diselenggarakan dan dimiliki PT Liga
Indonesia, yang juga adalah sebuah “business
entity”. Artinya, baik klub peserta liga maupun
lembaga pemilik liga, adalah perusahaan yang
berorientasi pada profit bisnis.
Bagaimana dengan Liga Primer Indonesia (LPI)
? Persis sama ! Pesertanya adalah klub
profesional dan berbentuk Perseroan Terbatas.
Penyelenggara dan pemiliknya adalah PT Liga
Primer Indonesia. Mereka adalah perusahaan
yang harus berorientasi pada profit agar bisa
“sustainable”.
Namun ada perbedaan dalam struktur
kepemilikan penyelenggara liga dan
kepemilikan klub peserta liga. PT Liga
Indonesia dimiliki 95% oleh PSSI. Sampai
sekarang tidak pernah diketahui dengan pasti
siapa pemilik 5% sisanya. Menurut beberapa
investigasi, 5% sisanya dimiliki oleh sebuah
yayasan bernama When I’m 64. Yayasan dengan
nama yang lumayan “edgy” ini, menurut
investigasi tersebut, dimiliki oleh dua tokoh
sepak bola dan usahawan besar Indonesia yang
kebetulan sama-sama punya inisial NB !
Namun, saya agak meragukan keabsahan
investigasi ini, karena belum pernah melihat
akta pendirian PT Liga Indonesia, dan mereka
yang menginvestigasi kini tergabung di PT Liga
Primer Indonesia.
PT Liga Primer, dimiliki oleh sebuah
konsorsium pengusaha yang dipimpin oleh
Arifin Panigoro. Siapa sajakah pengusaha
anggota konsorsium tersebut ? Sampai
sekarang tidak pernah jelas dan terbuka. Bisik-
bisik di kalangan para pengusaha nasional,
mereka yang tergabung dalam konsorsium LPI
terdiri dari seorang pengusaha perminyakan
asal Amerika Serikat dan seorang pengusaha
bisnis keuangan, otomotif & pertambangan
senior Indonesia dengan inisial TPR.
Namun sekali lagi, ini hanya bisik-bisik. Tentu
saja, baik PT Liga Indonesia dan PT Liga Primer,
sama-sama punya hak untuk merahasiakan
data-data yang mereka miliki. Jadi kalau harus
meminta konfirmasi dari mereka, mungkin
tidak akan pernah diberikan. Namun pola
hubungan klub dengan liga, di Liga Super
berbeda dengan pola hubungan klub dengan
liga di Liga Primer.
Klub peserta LSI tidak memiliki hubungan
kepemilikan dengan PT Liga Indonesia. Mereka
rata-rata adalah klub warisan masa kompetisi
sepak bola Indonesia, ketika masih terbagi
antara klub amatir perserikatan milik
Pemerintah Kota/Kabupaten dengan klub
semipro Galatama (Liga Sepakbola Utama).
Baru dua tahun belakangan ini mereka semua
harus menjadi klub professional berbentuk
Perseroan Terbatas (PT).
Jadi wajar apabila sebagian besar klub ini
diadopsi oleh para Pemkot/Kab dan masih
dibiayai oleh APBD. Setiap klub memakan biaya
rata-rata Rp 20 miliar pertahun. Jadi dalam satu
musim kompetisi yg diikuti oleh 18 klub
(kurang lebih 9 bulan) maka uang yang berputar
sekitar Rp 360 miliar. Bayangkan uang tersebut
80% nya adalah uang rakyat dalam APBD. Baru
pada 2009, PERSIB Bandung adalah satu-satunya
klub warisan perserikatan yang sudah tidak
menggunakan uang APBD Kota Bandung lagi.
Arema Indonesia, Semen Padang, dan Pelita
Jaya adalah klub warisan Galatama yang sejak
lahir memang tidak pernah menggunakan uang
APBD.
Sesuai dengan konsepnya, kepemilikan Liga
Primer akan dimiliki oleh klub pesertanya. Klub
peserta LPI rata-rata adalah klub bentukan
baru, atau “resurrection” dari klub lama yang
tidak puas dengan Liga Super Indonesia.
Persebaya Surabaya, Persema Malang, Persibo
Bojonegoro, dan PSM Makassar adalah klub
yang masuk kategori kedua.
Walau tidak ada satupun yang menggunakan
dana APBD, tetapi rata-rata klub di LPI juga
butuh dana operasional yang kurang lebih sama
dengan klub di LSI yang menggunakan APBD,
yaitu Rp 20 miliar pertahun. Jadi kalau
pesertanya 18 klub, maka uang yang berputar
juga Rp 360 miliar setahun. Darimanakah
mereka mendapat dana sebesar itu ?
Hampir semua klub peserta LPI mendapat
suntikan dana dari konsorsium PT Liga Primer
Indonesia. Suntikan dana ini masuk melalui
berbagai skema, dari pinjaman hingga
penyertaan modal. Pinjaman yang diberikan
nilainya tidak besar, tetapi penyertaan modal
bisa mencapai 90% yang tentu saja tidak
dibayarkan sekaligus, tapi sesuai jadwal, dengan
dibukukan sebagai “shareholders’ loan”. Artinya
apa ?
Hampir semua klub peserta LPI dimiliki oleh
konsorsium PT LPI. Konsekuensinya, PT LPI
menempatkan orang-orangnya di posisi
strategis & menentukan di tiap klub. Risikonya,
jika merugi, karena biaya operasional tidak
berhasil ditutupi oleh penghasilan tiket,
sponsor & hak siar maka akan ditanggung oleh
PT LPI ! Jika profit, tahu kan akan masuk ke
kantong siapa ?
Tentu saja orang lokal/daerah boleh membeli
kembali saham/”buy back” konsorsium LPI di
klub. Caranya, tentu dengan praktik bisnis
biasa. Jika dalam keadaan merugi bisa dibeli
dengan harga saham di bawah harga buku/
nominal saham. Namun, jika dalam keadaan
untung ?
Darimana Konsorsium LPI mendanai sekitar Rp
300 miliar setahun untuk operasional klub-klub
pesertanya ? Bisik-bisik lagi nih, dari seorang
manager investasi top Asia, tiga anggota
konsorsium LPI patungan sampai USD 60 juta !
Mereka berani “standby” dana sebesar itu untuk
diinvestasikan, karena potensi pasar
penggemar sepak bola Indonesia yang luar
biasa ! Kapitalisasi sebuah klub profesional di
Indonesia bisa mencapai USD 3 juta/tahun.
Sebuah kompetisi liga terdiri dari 18 klub,
maka silakan hitung sendiri kapitalisasi liga
sepak bola Indonesia yang selama ini
dimonopoli PT Liga Indonesia.
Potensi besar juga terdapat di tayangan siaran
langsung pertandingan liga sepak bola di layar
televisi. ANTV berani mengikat PT Liga
Indonesia untuk menayangkan LSI selama 10
tahun dari 2007, dengan nilai Rp 100 miliar.
Artinya ANTV harus membayar Rp 10 miliar
pertahun ke LSI. Angka fantastis ?
Coba kita “break down” dulu : Dengan
perolehan rating dan sharing tv di atas rata-rata
untuk setiap tayangan langsung pertandingan,
selama 9 bulan dalam setahun, maka
pemasukan iklannya pun akan dengan mudah
melewati angka Rp 10 miliar pertahun. Jadi
wajar apabila Indosiar pun menatap penuh
optimisme tayangan pertandingan LPI.
Apalagi sekarang opini dan simpati masyarakat,
yang tidak suka sepak bola sekalipun, sedang
condong ke LPI ! Opini dan simpati memang
condong ke LPI, karena Irfan Bachdim dan
Persema, memilih LPI dan menepis tekanan
dan ancaman PSSI atas mereka. Sikap Persema
dan Irfan Bachdim membuat skor sementara
LPI (1) – LSI (0)! Bahkan Irfan menjadi sosok
pahlawan perlawanan terhadap PSSI yang
dianggap tiran dan mengganjal LPI dengan
segala cara !
Pertikaian ini tentu saja bermuara pada satu
tujuan : menurunkan Nurdin Halid dari PSSI
beserta seluruh kepengurusan yang pro
padanya. Nah di sinilah mulai kita rasakan
nuansa politik yang kental dalam olah raga yang
kita anggap bisa bersih dari kepentingan politik.
Masyarakat pecinta sepakbola pun menjadi
politis ! Toh yang menginginkan dan teriak
“Nurdin turun...” di SUGBK saat final Piala AFF
2010 bukan orang partai politik ? Tapi
penonton ! ***

0 komentar:

Posting Komentar